<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d37849578\x26blogName\x3dVeritas+of+Islam\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://pasukanbadar.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://pasukanbadar.blogspot.com/\x26vt\x3d3901965244543772544', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Tuesday, December 12, 2006

Gereja dan Krisis Legitimati

(Sekilas Mengapa Gereja di Eropa kosong)

Kekristenan di Barat sedang menghadapi apa yang Peter Berger sebut sebagai suatu “Krisis legitimasi”. Pluralitas keagamaan, kalau agama-agama lain dipandang sebagai agama-agama yang menarik dan atau iman Kristen “didelegitimasi” (ditiadakan keabsahannya) sebagai suatu dasar kehidupan.

Di Eropa Barat dan Selatan, “sekularisme” dipandang sebagai lawan utama iman Kristen dan sebetulnya lawan utama semua agama. Proses sekularisasi yang ditakuti (atau yang diharapkan) sebetulnya hanya rekan-rekan mereka saja. Orang-orang di Eropa Barat dan Selatan “maaf” menjadi “kurang beragama”. Mereka (orang-orang di Eropa Barat dan
Selatan) mengatakan bahwa mereka ‘kurang beragama’, karena kemajuan individualisme. Lucu, dan bahkan sangat ironis. Sebab individualisme itu sendiri dibentuk oleh pelbagai faktor sosial : penyebaran pendidikan, keterbukaan informasi, jaminan sosial, mobilitas lebih tinggi, emansipasi wanita. Menjadi sangat wajar apabila saya katakan bahwa ini adalah cara baru mereka menafsirkan kehidupan pribadinya yang muluk-muluk. Sangat tidak masuk diakal apabila dikatakan bahwa mereka menafsirkan sejarah umat manusia).

Masalah serius, mengapa mereka kurang beragama, jawabannya sangat sederhana. Sebab tradisi Gereja tumbuh dari suatu tradisi tertentu. Setidaknya ungkapan yang mengatakan bahwa Kristianitas dekat dengan kultur barat menunjukan hal itu. Tradisi Gereja tersebut sudah menjadi tradisional, karena apa yang dihayati dan dihidupi hanyalah sekedar meneruskan, akibatnya menjadi kurang kritis akan apa yang ada. Dan
akibatnya simbol-simbol yang dipakai cenderung dilihat kembali : apakah menyentuh realitas hidup ummat masa sekarang, dan punya arti yang mendalam bagi mereka, dan jikalau tidak, ya selamat tinggal.

Dalam statistik kita dapat melihat prosentase orang yang percaya kepada Allah. Di Eropa Selatan, Islandia dan Irlandia, delapan puluh persen lebih mengaku percaya kepada Allah. Di negara-negara lainnya turun menjadi 30 – 50 persen. Di Swedia tiga puluh persen. Mereka percaya kepada Allah tetapi mereka tidak membutuhkan Allah. Lebih kecil dari tiga puluh persen orang percaya akan Allah yang berpribadi. Pada
tahun 1995, prosentas ini semakin menurun. Sekitar tiga puluh persen mengatakan bahwa mereka percaya akan hidup sesudah kematian di Sorga, dan hanya satu dari delapan yang percaya akan kebangkitan. Di Swedia masih lumayan banyak (20%) yang
masih percaya akan inkarnasi. Perubahan kepercayaan ini mencerminkan sikap orang terhadap Gereja, kecuali Eropa Selatan, Islandia dan Irlandia, kepercayaan kepada Gereja sangat menurun. Saya tidak menemukan negara kecuali Irlandia dengan mayoritas orang percaya bahwa Gereja masih mampu menyediakan jawaban yang memuaskan terhadap tantangan kehidupan moral individual dan masyarakat.

Selain Eropa Barat dan Selatan, Amerika sendiripun mengalami hal yangsama. P. David J. Nygren dan Sr. Mairiam D Ukeritis CSJ pada tahun 1993, melakukan penelitian secara cermat perihal ‘peristiwa’ kemunduran hidup religius di Amerika sejak Konsili
Vatikan II (1962) hingga dewasa ini dan menuliskan dalam sebuah buku, “The future of religius Orders in the United States” : transformation and Commitment” (Masa depan Ordo-ordo Religius di Amerika Serikat, Transformasi dan Komitmen). Dalam penelitiannya yang melibatkan 816 Konggresi (atau provinsi Konggregasi) dan sampel penelitian 121.439 religius, diperoleh data-data yang sangat mencemaskan. Antara lain dalam statistik dikemukakan antara tahun 1962 hingga tahun 1993 jumlah anggota suster dan bruder mengalami kemerosotan moral hampir 48%.

Sementara itu jika menyimak statistik usianya, lebih dari enam puluh empat persen tahun atau diatasnya. Usia dibawah tiga puluh tahun dari para Suster hanya 642 orang (0,4 persen dari umlah yang ada). Dari jumlah usia yang menjadi tulang punggung
gereja ini (para religius muda), belum terhitung sekian persen menderita fisik, mengalami probleme kelainan psikis dan kepribadian, serta sekian persen lagi menghadapi masalah penegasan komitmen hidup panggilan.

Dalam pertemuan para Seperior General serikat-serikat hidup bakti dan kerasulan di Roma tahun 1993, dua peneliti ini mengemukakan kondisi apa adanya dari kehidupan religius yang sekarang terjadi di Amerika. Mereka memperediksi bahwa jika ordo atau
konggregasi religius tidak segera melakukan perubahan dan pembaharuan yang berarti, maka dalam jangka waktu delapan atau sepuluh tahun mendatang statistik kemerosotan atau mencapai titik yang sangat parah.

Barangkali kemerosotan jumlah cuma mengingatkan segi kuantitatif saja. Tetapi, kemerosotan pada satu segi sedikit banyak mengkondisikan kemunduran pada segi
yang lain. Atau ada semacam proses – baik itu mendahului maupun menyusul kemudian setelah penurunan kuantitas – memudarnya daya tarik kualitas hidup religius. Bahwa pembaktian diri lewat hidup yang di konsekrasikan (dikuduskan lewat pengucapan kaul-kaul) untuk Allah tidak lagi menjadi transendensi diri. Atau bahwa kaum muda Amerika tidak lagi melirik kehidupan religius sebagai jalan hidup alternatif yang
mempesonakan. Dan karena itu kurang diminati. Dalam saat yang bersamaan, berkembang pula paham-paham baru yang mempertanyakan aktualitas relevansi hidup religius. Di lain pihak, rupanya pembaharuan hidup religius juga berlangsung alot disebutkan contoh kongkrit bagaimana dalam suatu rumah biara yang dihuni beberapa anggota, terdapat dua ruang rekreasi. Satu untuk tempat kelompok senior, yang lain untuk kelompok yang lebih muda yang menganut progresivitas pandangan.

Mengapa kepercayaan masyarakat terhadap gereja semakin menurun? Selain beberapa jawaban yang telah disebut di atas, jawaban yang paling mendasar sebagai alasan utama mengapa mereka kurang beragama adalah karena Gereja merasa ‘terlalu berhak’ mengatur masalah-masalah dunia ketiga dan diskriminasi sosial.

Disamping ‘terlalu berhak’ mengatur masalah-masalah dunia ketiga dan diskriminasi sosial, dogma gereja yang selalu berubah, membuat masyarakat kehilangan pegangan. Sebagai contoh kasus, “dunia baru yang asing di dalam Alkitab” adalah suatu pandangan yang lebih tepat mengenai dunia ini. Dan sebagai akhibatnya mereka harus mengubah pandangan-pandangan mereka sendiri. Dan jawaban-jawaban yang diberikan Alkitab mereka sendiripun bertentangan.

Selain itu Gereja terlalu sering mempraktekan suatu bentuk rasisme yang tidak kentara. Malah ketika mereka dengan positif mendorong dan memperkuat kebanggaan etnis kelompok mereka, mereka juga mendorong timbulnya anggapan diam-diam bahwa orang di luar kelompok mereka adalah orang-orang yang berkedudukan lebih rendah. Rasisme berisi suatu paham negatif yang diterima begitu saja mengenai orang asing
dan ini membuat pemahaman lintas budaya sangat sulit diterima. Pengetahuan bahwa orang-orang adalah unik di terima. Pengetahuan bahwa orang-orang adalah unk di
dalam konteks kebudayaan mereka sendiri dipangkas habis oleh prasangka.

Dan yang terakhir, Gereja terlalu sering tidak bermakna, tiran dan demonik. Sebab, Gereja bukanlah suatu wahana dari “cita-cita tertinggi roh manusia” tetapi suatu wahana dari perasaan-perasaan sempit, picik, penuh takhayul dan tidak bermakna.

Ahmad Ismail Pain Ratu Sth. M.Div.
Jhon K. Pain Ratu.SVD.M.div.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home